Guru dan PGRI
Saya
sempat bingung ketika membaca surat panggilan calon pemenang lomba sayembara
penulisan buku pengayaan 2009 yang diselenggarakan oleh Pusat Perbukuan
Depdiknas RI. Kebingungan saya bukan karena masalah yang besar atau ada sesuatu
yang saya perlu tanyakan kepada panitia, tetapi kebingungan itu muncul setelah
saya membaca surat di atas. Isi tulisan itu, selain ucapan selamat kepada para
calon pemenang, ada beberapa informasi kelengkapan yang harus dibawa oleh
peserta lomba. Salah satu kelengkapan itu adalah calon pemenang diminta membawa
batik Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Bagi saya memakai
batik PGRI adalah sebuah kebanggaan tersendiri, tetapi saya belum pernah
mengenakannya, dan harus beli dimana batik PGRI itu?. Di samping itu juga saya
bukanlah anggota PGRI yang terdaftar. Jadi, adalah wajar bila saya kebingungan
apakah wajib bila seorang guru mengenakan seragam PGRI? Apakah PGRI milik semua
guru? Guru swasta dan guru sekolah negeri. Tetapi mengapa kami sebagai guru
swasta tak pernah diminta memakai batik PGRI? Apakah memang PGRI hanya milik
orang-orang tertentu yang menjadikannya sebagai kendaraan politik untuk bisa
menjadi seorang pejabat?
Rasanya saya
harus membaca sejarah untuk apa PGRI didirikan dan mengapa guru perlu mempunyai
oganisasi profesi seperti PGRI. Namun sayangnya, tidak banyak guru yang
terlibat dalam organisasi ini. Organisasi ini lebih banyak didominasi oleh para
dosen perguruan tinggi, Bukankah sudah jelas guru dan dosen itu berbeda?
Bukankah seharusnya organisasi ini bernama Persatuan Guru dan Dosen Republik
Indonesia (PGDSI)? Kenapa para dosen di perguruan tinggi tak membuat sendiri
organisasi Persatuan Dosen Republik Indonesia? Bukankah sudah jelas dikatakan
dalam UU guru dan dosen tahun 2003, bahwa guru adalah orang yang mengajar di
sekolah sedangkan dosen adalah orang yang mengajarkan di perguruan tinggi.
Kita memang
sering latah, Persatuan Orang Tua Murid dan Guru diberi nama POMG. Padahal
panggilan murid berlaku untuk sekolah TK dan SD, sedangkan panggilan siswa
ditujukan bagi mereka yang telah mengikuti pendidikan d bangku SMP dan SMA.
Seharusnya nama organisasinya itu adalah Persatuan Orang tua Siswa dan Guru.
Kembali kepada
organisasi guru. Dulu, PGRI menjadi corong kekuasaan karena sebagian pengurusnya
adalah orang yang aktif di parpol, khususnya partai golkar. Itulah yang
menyebabkan para guru menjadi trauma, kalau-kalau organisasi guru seperti PGRI
Cuma dijadikan alat sesaat dalam dalam membangun citra politik partai tertentu.
Semestinya PGRI semakin membumi dan keberadaannya diperhatikan benar oleh para
guru. Tetapi mengapa para guru terasa enggan bergabung dalam organisasi PGRI?
Bahkan ada yang mendirikan sendiri organisasi guru dengan nama Persatuan Guru
Independen Indonesia (PGII). Bahkan ada juga yang sudah membentuk organisasi
guru yang diberi nama Persatuan Guru Sejahtera Indonesia (PGSI). Juga ada lagi
organisasi yang benama Klub guru Indonesia (KGI).
Banyaknya
organisasi profesi guru yang muncul dan terbentuk, membuat guru terasa seperti
terkotak-kotak. Seharusnya, teman-teman guru bergabung saja dalam satu
organisasi yang bernama PGRI. Kita besarkan PGRI, dan tidak ada dikotomi lagi
antara guru sekolah swasta dengan guru sekolah negeri. Semua guru harus
bergabung dalam wadah yang bernama PGRI.
SEJARAH PGRI
Dalam teks resmi
yang dikeluarkan oleh Pengurus Besar PGRI, dan untuk dibaca pada upacara memperingati
HUT PGRI dan Hari Guru Nasional, 25 November tahun 2008, dijelaskan bahwa PGRI
lahir pada 25 November 1945, setelah 100 hari proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Cikal bakal organisasi PGRI adalah diawali dengan nama Persatuan Guru Hindia
Belanda (PGHB) tahun 1912, kemudian berubah nama menjadi Persatuan Guru
Indonesia (PGI) tahun 1932.
Semangat
kebangsaan Indonesia telah lama tumbuh di kalangan guru-guru bangsa Indonesia.
Organisasi perjuangan huru-guru pribumi pada zaman Belanda berdiri tahun 1912
dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB).
Organisasi ini
bersifat unitaristik yang anggotanya terdiri dari para Guru Bantu, Guru Desa,
Kepala Sekolah, dan Penilik Sekolah. Dengan latar belakang pendidikan yang
berbeda-beda mereka umumnya bertugas di Sekolah Desa dan Sekolah Rakyat Angka
Dua. Sejalan dengan keadaan itu maka disamping PGHB berkembang pula organisasi
guru bercorak keagamaan, kebangsaan, dan yang lainnya.
Kesadaran
kebangsaan dan semangat perjuangan yang sejak lama tumbuh mendorong para guru
pribumi memperjuangkan persamaan hak dan posisi dengan pihak Belanda. Hasilnya
antara lain adalah Kepala HIS yang dulu selalu dijabat orang Belanda, satu per
satu pindah ke tangan orang Indonesia.
Semangat
perjuangan ini makin berkobar dan memuncak pada kesadaran dan cita-cita
kesadaran. Perjuangan guru tidak lagi perjuangan perbaikan nasib, tidak lagi
perjuangan kesamaan hak dan posisi dengan Belanda, tetapi telah memuncak
menjadi perjuangan nasional dengan teriak “merdeka.”
Pada tahun 1932
nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) diubah menjadi Persatuan Guru
Indonesia (PGI). Perubahan ini mengejutkan pemerintah Belanda, karena kata
“Indonesia” yang mencerminkan semangat kebangsaan sangat tidak disenangi oleh
Belanda. Sebaliknya, kata “Indonesia” ini sangat didambakan oleh guru dan
bangsa Indonesia.
Pada zaman
pendudukan Jepang segala organisasi dilarang, sekolah ditutup, Persatuan Guru
Indonesia (PGI) tidak dapat lagi melakukan aktivitas.
Semangat
proklamasi 17 Agustus 1945 menjiwai penyelenggaraan Kongres Guru Indonesia pada
tanggal 24 – 25 November 1945 di Surakarta. Melalui kongres ini, segala
organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan tamatan, lingkungan
pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama, dan suku, sepakat dihapuskan.
Mereka adalah – guru-guru yang aktif mengajar, pensiunan yang aktif berjuang,
dan pegawai pendidikan Republik Indonesia yang baru dibentuk. Mereka
bersatu untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di dalam kongres
inilah, pada tanggal 25 November 1945 – seratus hari setelah proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia – Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI)
didirikan. Dengan semangat pekik “merdeka” yang bertalu-talu, di tangan bau
mesiu pemboman oleh tentara Inggris atas studio RRI Surakarta, mereka serentak
bersatu untuk mengisi kemerdekaan dengan tiga tujuan :
- Memepertahankan dan
menyempurnakan Republik Indonesia;
- Mempertinggi
tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan;
- Membela hak dan
nasib buruh umumnya, dan guru pada khususnya.
Sejak Kongres
Guru Indonesia itulah, semua guru Indonesia menyatakan dirinya bersatu di dalam
wadah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Jiwa pengabdian,
tekad perjuangan dan semangat persatuan dan kesatuan
PGRI yang
dimiliki secara historis terus dipupuk dalam mempertahankan dan mengisi
kemerdekaan negara kesatuan republik Indonesia. Dalam rona dan dinamika politik
yang sangat dinamis, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) tetap setia dalam
pengabdiannya sebagai organisasi perjuangan, organisasi profesi, dan organisasi
ketenagakerjaan, yang bersifat unitaristik, independen, dan tidak berpolitik
praktis.
Untuk itulah,
sebagai penghormatan kepada guru, pemerintah Republik Indonesia dengan
Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994, menetapkan hari lahir PGRI tanggal 25
November sebagai Hari Guru Nasional, dan diperingati setiap tahun.
Kiprah PGRI Saat
ini.
Saya sangat
berpengharapan agar kiprah PGRI di masa-masa yang akan dating lebih baik lagi.
Saya yakin, PGRI dibawah kepemimpinan Prof. Dr. Sulistyo mampu meningkat mutu
guru. Menjadi guru lebih bermartabat, dan memperbanyak guru yang prfesional di
bidangnya. Untuk bisa merelaisasikan itu, tentu PGRI didukung oleh kepengurusan
yang solid dan kredibel di mata para guru, sehingga program kerjanya terasakan untuk
semua guru.
PGRI harus lebih
berkiprah, khususnya membantu guru melakukan penelitian ilmiah sehingga mereka
tidak mentok di golongan IVA. PGRI juga diharapkan mampu menjembatani keinginan
para guru dengan pemerintah, baik pusat maupun daerah agar mampu menterjemahkan
hak-hak guru yang harus dibayarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Akhirnya, PGRI
harus menjadi corong para guru dalam menyampaikan suaranya kepada pemerintah
dan memberikan masukan positif kepada pemerintah tentang langkah-langkah efektif
yang sebaiknya dilakukan. Jangan biarkan PGRI menjadi seperti pepatah, hidup
segan mati tak mau.